PERAYAAN TAHUN BARU, PERLUKAH KITA TIRU??

<!–[if !mso]> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } <![endif]–>

Waktu terus berlalu, tanpa disadari waktu telah mengantarkan kita memasuki tahun baru, 1 Januari. Tanggal yang mengharuskan kira mencampakkan kalender lama yang penuh kenangan dan menggantikannya dengan kalender baru  yang siap merekam setiap peristiwa yang akan terjadi.
            Malam pergantian tahun tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam perayaannya yang meriah. Mulai dari acara amal, syukuran hingga pagelaran musik. Bagi banyak orang, akan terasa hambar jika malam tahun baru tidak diisi dengan begadang di jalanan, meniup terompet, menyalakan petasan dan kembang api, bahkan konvoi keliling kota dengan motor atau mobil bak terbuka.
            Perayaan tahun baru tidak pernah mengenal kadaluwarsa. Selalu menjadi momen spesial. Padahal tidak sedikit diantara para “penggembira” perayaan tahun baru yang tidak paham manfaat dibalik perayaan tahun baru. Yang pasti, just for fun, hanya untuk senang-senang belaka. Diberbagai stasiun televisi, sudah dari jauh-jauh hari gencar diluncurkan promosi tentang acara-acara spesial tahun baru. Acaranya tidak jauh dari pentas musik dan diikuti dengan penghitungan mundur detik-detik pergantian tahun. Kemudian diikuti dengan ucapan selamat tahun baru dalam suasana iringan musik dan tiupan terompet yang hingar-bingar.
           
Sejarah 1 Januari sebagai Tanggal Tahun Baru
Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. 1 Januari tahun 45 Sebelum Masehi (SM), untuk pertama kalinya dalam sejarah, tanggal 1 Januari dirayakan sebagai hari tahun baru. Tak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, dia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, ahli astronomi dari Aleksandria, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dikalkulasi sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau July. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar  Agustinus, menjadi bulan Agustus.
Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.
Kalender yang hingga kini digunakan itu menggunakan 1 Januari kembali sebagai Hari Tahun Baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan tersebut pada tahun 1752. Kebanyakan orang memperingati tahun baru pada tanggal yang ditentukan oleh agama mereka. Tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, dirayakan pada bulan September atau awal Oktober. Umat Hindu merayakannya pada tanggal-tanggal tertentu. Umat Islam menggunakan sistem penanggalan yang terdiri dari 354 hari setiap tahunnya. Karena itu, tahun baru mereka jatuh pada tanggal yang berbeda-beda pada kalender Gregorian tiap tahunnya.

Cara Merayakannya di Masa Lampau dan Kini

Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas.
Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar. Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.
            Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.
Dalam peryaan modern, sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
            Di Brazil, pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan kepada sang dewa Lemanja, dewa laut yang terkenal dalam legenda rakyat Brazil.
            Sementara itu menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Perlukah Seorang Muslim Meniru?
            Sudah jelas bahwa tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka terhadap dewa-dewa (polytheism). Bahkan lebih khusus, perayaan tahun baru merupakan bagian dari kepercayaan kaum tertentu. Bagi orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan dunia Eropa, tahun baru masehi disandarkan pada kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, yang dituhankan oleh kaum yang juga disebut sebagai kaum beragama Masehi tersebut. Karena itulah, masa sebelum Yesus lahir disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudahnya disebut tahun Masehi. Jelas, bahwa tahun baru merupakan salah satu hari raya umat Kristiani.
            Harusnya kita sadar, maraknya perayaan tahun baru merupakan sebuah upaya yang dilakukan orang kafir untuk meracuni aqidah Islam yang murni tertanam dalam diri umat Islam. Perayaan tahun baru dikemas begitu apik hingga kita jauh dari Islam. Terlepas dari segala bentuk acaranya, keterlibatan dalam perayaan tahun baru telah membawa kaum muslimin secara tidak langsung membenarkan ajaran agama selain Islam. Kita harus menjawabnya dan dalam Islam sudah terdapat jawabnya.
            “Barangsiapa yang menyerupai (bertasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk salah seorang dari mereka (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ath-Thabrani) SAW. Hal yang terkait  dengan pandangan hidup tertentu selain Islam, maka kaum muslimin dilarang untuk mengikuti atau meniru-nirunya. Sebab, Islam itu sendiri adalah suatu pandangan hidup yang unik dan telah dijamin Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup yang benar.
            Namun apabila yang kita tiru tersebut adalah hal yang tidak berkaitan dengan pandangan hidup tertentu, maka dia adalah mubah. Rasulullah SAW pernah mengutus salah seorang Sahabat untuk mempelajari teknik pembuatan senjata perang ke negeri Parsi yang notabene bukan negara Islam. Artinya, meniru sesuatu yang semata-mata merupakan sarana bagi kita dalam memudahkan kita menjalani kehidupan di dunia ini (teknologi), maka ia tidak masalah untuk kita ambil.
            Peringatan tahun baru dan perayaannya terkait dengan pandangan hidup kaum di luar Islam. Rasulullah Saw dalam banyak hal selalu membedakan Islam dan kaum muslimin dari Yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik, dalam semua hal mulai cara berpakaian, perhiasan, penampilan, cara sholat, puasa, arah kibalt dan lain-lain. Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al –Asqalani dalam Fathul Bari (juz 1 hal 362-363) berkata: “Aku kumpulkan seluruh masalah yang berhubungan dengan mukhalafat ahlul kitab (membedakan diri dengan ahli kitab) yang dinyatakan oleh berbagai hadits, maka aku menghitung jumlahnya lebih dari tiga puluh hukum; aku cantumkan semuanya dalam kitabku yang aku beri nama al-qaulu ats-tsabti fi shaumi yaumi sabti (perkataan yang kuat tentang berpuasa pada hari Sabtu).” Sikap Rasul inilah yang membuat orang Yahudi mengatakan: “Tidak luput satu perkara dari urusan kami (Yahudi) kecuali dia (Rasul) menyalahi kami dalam hal itu.” (HR Bukhari)
            Dalil-dalil diatas mestinya cukup membuat kita berpikir lagi untuk berpartisipasi dalam perayaan tahun baru. Kecuali jika kita mau digolongkan ke dalam agama selain Islam. Naudzubillahi min dzalik. Maka ada baiknya pergantian tahun kita isi dengan aktivitas muhasabah (instropeksi dan koreksi) terhadap segala aktivitas yang sudah kita kerjakan setahun kemarin, dan juga perbaikan yang akan kita lakukan tahun depan. Apalagi, kalau kita pikir-pikir, tahun baru masehi ini bukan tahun baru umat Islam. Maka mestinya, justru tahun baru Islamlah yang menjadi patokan bagi aktivitas kita. Bagaimanapun, penanggalan Hijriyah terkait dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan, seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah atau juga 1 Muharam, yang selalu mengingatkan kita pada sejarah perjuangan Islam. Harusnya kita ingat perkataan Khalifah Abdul Hamid II pada 2 Maret 1917 M, yang menjadi khalifah terakhir dari kaum muslimin. Beliau mengatakan, ”Perlu dicatat di dalam benak bahwa aku menentang penggunaan penanggalan Barat. Harus digarisbawahi bahwa jangan sekali-kali menggunakan  persepsi seperti itu.” (Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II, Dr. Muhammad Harb: hal 18). Jadi, pilih yang mana?!*** – Disiapkan untuk Buletin Remaja Masjid Sabilillah Kota Malang

Tinggalkan komentar